Tragedy Waduk Kedung Ombo. Mungkin istilah ini terdengar lawas oleh beberapa
pemerhati masalah social, politik, ataupun masyarakat awam di wilayah boyolali,
sragen, dan purwodadi. Akan tetapi bukankah sejarah seperti lagu lama yang bila
di putar menimbulkan romantisme tersendiri, serta memiliki banyak makna yang
dapat kita renungkan untuk hidup yang lebih baik. Mengutip perkataan Milan
Kundera seorang novelis Cekoslovakia bahwa “perjuangan manusia melawan
penindasan, adalah perjuangan ingatan melawan lupa”, perkatan tersebut juga
diperkuat oleh sebuah adagium lawas “hanya keledeai yang jatuh kedua kali
dilubang yang sama”. Kurang lebih seperti itulah fungsi sejarah sebagai bahan refleksi
untuk melangkah di hari esok yang lebih baik.
Kasus tragedy Waduk Kedung Ombo
(WKO) awalnya bermula dari rencana pemerintah orde baru untuk mendirikan
bendungan raksasa seluas 6.576 hektar yang areanya mencakup bagian wilayah di
tiga Kabupaten, yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. WKO yang sedianya
diperuntukan membendung lima aliran sungai, dirancang memiliki luas 6576
hektar, terdiri dari wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektar dan
sisanya yang 3.746 hektar akan di dapat melalui “pembebasan” lahan pertanian
masyarakat. Program pembangunan WKO sebenarnya merupakan bagian dari program
pemerintahan orde baru dibawah Soeharto untuk “me-modernisasi” pembangunan
perekonomian Indonesia di sector pertanian melalui pembangunan infrastruktur
irigasi yang sebenarnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat mengingat
perairan yang sudah ada sebelumnya dirasa telah mencukupi kebutuhan irigasi
petani. Sehingga megaproyek perluasan dan pembangunan bendungan kedung ombo
dirasa hanya menjadi lahan basah korupsi dan bagi-bagi proyek croni-croni
Soeharto. Pendanaan megaproyek ini diambil dari hutang luar negeri senilai USD
156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN,
dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Pembangunan waduk ini diwarnai
dengan perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang tanahnya
tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap
mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan
tanah leluhur ada juga yang merasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah
sangat tidak layak. Pada dasarnya mekanisme ganti rugi telah di desain oleh
World Bank senilai Rp.10.000/m, akan tetapi Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan
ganti rugi Rp 3.000,-/m, sedangkan yang terjadi dilapangan adalah pemaksaan
kepada warga untuk menerima ganti rugi Rp 250,-/m. Disisi lain warga yang nekat
bertahan mengalami terror yang di sponsori Negara berupa intimidasi dan
kekerasan fisik. Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai
agar rumah dan tanah warga tenggelam dan tersapu air sehingga mereka mau
direlokasi sebagai transmigran ke Sumatra. Gaya represif Negara dan mekanisme
ganti rugi yang penuh muslihat ini benar-benar sebuah pelecehan terhadap kemanusiaan
dan keluar dari nalar sehat.
Dalam kasus kedung ombo ini secara
faktual Negara telah melakukan teror yang nyata melalui represife state
apparatus (sumber kekerasan fisik Negara : polisi, tentara, dan aparat lainya)
pada warga sipil yang tak bersenjata. Berikut daftar teror yang terjadi di
wilayah Kedung Ombo pada masa konflik menurut keterangan penduduk desa-desa di
sekitar kedung ombo yang mengakibatkan banyak kerugian secara fisik dan non
fisik serta kerugian secara moril dan materiil.
Teror Fisik
- Penganiayaan pada warga untuk memakasa menyetujui ganti rugi yang diberikan
- Kurungan badan di LP untuk pemaksaan penerimaan ganti rugi
Teror Secara Moril
- Ancaman dan intimindasi untuk mendapatkan persetujuan ganti rugi
- Pemaksaan penerimaan ganti rugi yang telah ditetapkan
- Pemberian cap PKI pada para korban yang menolak ganti rugi
- Ancaman kurungan dan denda bagi korban yang menolak ganti rugi
- Pemblokiran areal proyek dan pengisolasian daerah proyek bagi masyarakat yang menjadi korban atau relawan yang hendak memberi bantuan
- Ancaman penghilangan hak atas tanah yang telah dimiliki tanpa ganti rugi
- Pemaksaan untuk meninggalkan rumah dengan menaikan elevasi dan debit air
Kerugian bersifat material ( harta
benda )
- Ganti rugi tanah yang terkena proyek dengan Harga Rp.250 yang tidak sesuai dengan dana pembebasan tanah dari World Bank Rp. 10000/m
- Pengahancuran sawah yang sedang ditanami tanaman produksi oleh warga
- Hilangnya petilasan Nyi Ageng Serang (situs sejarah perjuangan Nyi Ageng Serang).
Seperti dalam sebuah kata-kata bijak
jawa bahwa sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, lan menang tanpo ngasorake
(kaya bukan karena harta, berani bukan karena memiliki pasukan, dan menang
tanpa menindas yang kalah) musti menjadi praktek holistik dan persepsi dalam
melihat dunia agar peristiwa anti-kemanusiaan seperti tragedi WKO 1985,
peristiwa anti-Tionghoa tahun 1918 di karanggede, sampai dengan peristiwa
pembantaian PKI tanpa proses peradilan tahun 1966 di gunung botak dan boyolali
kota tidak terulang lagi. Kasus WKO haruslah menjadi bahan renungan bersama
agar kasus WKO tahun 1985 benar-benar menjadi yang terakhir dari sekian
peristiwa anti-kemanusiaan yang pernah terjadi di boyolali. Semua manusia
berhak diadili dalam keadaan nyawa yang melekat diraganya, karena sesungguhnya
tidak pernah ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia yang lainya.
Sumber : diolah dari berbagai
tulisan dan kliping media.
biar lam hukum karma yg berlaku
BalasHapus